(foto: Gedung Kepatihan Tjilegon/Google)
PILAR-pilar yang tampak dibelakang para tawanan itu adalah Gedung Kepatihan Cilegon, yang lokasinya di belakang Sarinas Jaya. Gedung Kepatihan Cilegon itu merupakan salah satu target penyerangan pada peristiwa 9 Juli 1888 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Geger Cilegon.
Pada peristiwa itu ada 3 target penyerangan; pertama Gedung Kepatihan, kedua Gedung Penjara yang sekarang menjadi bangunan Smp Negeri 1 Cilegon, dan yang ketiga adalah rumah tinggal Assisten Residen, Gobbels.
Yang menarik untuk dicermati Gedung Kepatihan kemudian runtuh ketika Indonesia memasuki kemerdekaan pada tahun 1945, dan gedung penjara runtuh pada sekitar tahun 60-an, kemudian pada tahun 1984 dibangunlah gedung SMP Negeri Cilegon, yang pada waktu itu bernama SMP Maulana Yusuf.
Pada tahun 1900 an pemerintah Hindia Belanda membangun monumen peringatan peristiwa Geger Cilegon 1888, dan monumen itu dirobohkan pada tahun 1970 an ketika dilokasi tersebut dibangun Gedung Bioskop Apollo.
Pertanyaannya, kalau pemerintahan Belanda saja peduli membangun monumen peringatan peristiwa Geger Cilegon 1888, mengapa pemerintah kita hingga kini tidak peduli..?
Adakah kiranya calon walikota nanti yang punya cita-cita untuk membangun monumen Geger Cilegon 1888 setelah ia menjabat..?
Padahal peristiwa yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888, atau yang lebih dikenal dengan istilah Geger Cilegon ini adalah merupakan satu-satunya gerakan perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka merebut kemerdekaan dari pemerintah Hindia Belanda serta sekaligus merupakan gerakan revolusi pertama yang ada di Indonesia.
Sayangnya sejarah terbesar bangsa Indonesia ini justru terpinggirkan dan terkubur bersama jasad para syuhadanya sehingga wajar jika sekarang jarang orang yang mengetahui kisah sejarah ini.
Pada saat peristiwa itu terjadi, Cilegon merupakan ibu kota afdeling Anyer, sehingga menjadi tempat tinggal para pejabat Belanda. Misalnya rumah tinggal Juru Tulis H. F. Dimas, sekarang menjadi rumah makan 99 atau Sarinande, sementara disebelahnya rumah tinggal ajun kolektor, sekarang jadi apotek Labora, dan disebelahnya lagi adalah rumah Jaksa, atau sekarang menjadi hotel Cilegon.
Sementara di sebelah Barat Alun-alun adalah rumah kepala penjualan garam, Ulrich Bachet, yang sekarang menjadi pertokoan Join In.
Sementara rumah Assisten Residen Gobbells pernah menjadi kantor Polsek Cilegon sampai pada tahun 1980 an.
Pada saat peristiwa itu terjadi, kedua anak Assisten Residen Gobbells, bernama Elly dan Dorra mati dibantai oleh para pemberontak di rumahnya. Sementara istri Gubbells tewas di kampung Saneja, setelah berkelahi dengan Nyi Kamsidah, istri Ki Iskak salah seorang pemimpin gerakan peristiwa Geger Cilegon 1888.
Ditulis Oleh: Bambang Irawan (Spesialis Peneliti Sejarah Geger Cilegon 1888).
#Sejarah