Para pemeran film geger cilegon
FILM dengan latar belakang sejarah ini menceritakan tentang sebuah tragedi pembantaian para pejabat pemerintah Hindia Belanda, yang terjadi di wilayah yang paling rusuh di ujung Barat pulau Jawa, yaitu Banten. Dimana peristiwa itu terjadi pada tanggal 9 Juli 1888, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Geger Cilegon 1888. Adapun motif dibalik meletusnya peristiwa pemberontakan rakyat Banten ini adalah bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan Hindia Belanda serta mendirikan sebuah pemerintahan yang berdaulat di Banten sebagai pengganti dari kesultanan Banten yang telah dihapuskan keberadaannya oleh pemerintahan kolonial.
Pada tahun 1808 kesultanan Banten dihancurkan oleh gubernur jenderal Herman Willem Daendels, benteng dan istana Surosowan dibakar dan dirobohkan. Tindakan Daendels yang membabi buta itu karena sultan Banten tidak mau menuruti perintah Daendels, bahkan utusan Daendels yang membawa perintah itu, bernama Komondeur Philip Pieter du Puy, dan seluruh pengawalnya malah dibunuh oleh pasukan keraton di depan pintu gerbang benteng Surosowan. Ada pun pada waktu itu du Puy membawa tiga pesan yang harus dituruti oleh sultan, yaitu sultan harus mengirimkkan 1000 orang rakyat setiap hari untuk dipekerjakan di ujungkulon, sultan juga harus menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiradja ke Batavia dan sultan harus memindahkan keratonnya ke Anyer karena Surosowan akan dipakai oleh Belanda.
Kemudian pada tahun 1813, sultan Muhamad Syafiudin dipaksa turun tahta oleh gubernur jenderal Thomas Stamford Rafles dan menyerahkan jabatan pemerintahan Banten kepada kerajaan Inggris pada tahun 1813, yang kemudian disusul dengan penghapusan kesultanan Banten. Ada pun gelar sultan masih boleh terus dipakai dan sultan diberi 10.000 ringgit Spanyol setahun. Oleh karenanya, sekali pun status sultan masih ada, namun kekuasaannya sudah diambil alih oleh pemerintah kolonial. Maka sejak saat itu masyarakat Banten seperti anak ayam yang kehilangan induk.
Dan seiring dengan berjalannya waktu, serta dipengaruhi oleh khotbah-khotbahnya Kiyai Haji Abdul Karim (Tanara), kemudian terbangunlah sebuah gerakan pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh para kiyai dari seantero Banten. Sebenarnya gerakan revolusi di Banten ini sempat meredup karena sang penggagas, Haji Abdul Karim, harus meninggalkan Banten, pada tahun 1876 dan menetap di tanah suci Mekah (sampai akhir hayatnya), karena menggantikan posisi Khatib Sambas sebagai pemimpin umum tarekat kadiriyah; yang berpusat di Mekah. Sementara itu kedua muridnya yang terkemuka pun saat itu sedang berada di Mekah, yaitu Haji Tubagus Ismail (Gulacir) dan H. Marjuki (Tanara).
Namun dengan kembalinya Haji Tubagus Ismail ke Banten pada tahun 1883, kemudian gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda itu tumbuh kembali. Terlebih lagi ketika Haji Wasid (Beji) begitu antusias dengan adanya rencana pemberontakan ini, akhirnya semangat revolusioner pun semakin menggelora. Dan gerakan ini kemudian semakin matang setelah kedatangan Haji Marjuki dari tanah suci Mekah, yang kemudian mengajak Haji Arsyad Thawil, salah seorang kerabatnya yang juga pada saat itu berdomisili di Mekah, namun sedang berada di Banten dengan maksud untuk mengunjungi sanak familinya.
Sejak saat itu pertemuan-pertemuan semakin gencar dilaksanakan, yang lokasinya berpindah-pindah dari Tanara, Kaloran, Terate, Beji dan Saneja. Mereka terus mematangkan rencana perang suci yang bertujuan untuk merebut kemerdekaan serta membangun kembali kesultanan Banten yang sudah porak-poranda selama lebih dari 50 tahun dan hanya tinggal puing-puingnya saja .
Dan tentu saja untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan Hindia Belanda itu tidak mudah, oleh karenanya perlu perhitungan yang cermat serta persiapan yang matang juga waktu yang panjang. Namun karena pada akhir bulan Juni 1888, terjadi insiden perobohan sebuah menara langgar milik H. Makid di Jombang Wetan, dan dari sanalah kemudian timbul silang pendapat antara Haji Wasid dengan Haji Marjuki.
Menurut Haji Marjuki bahwa perjuangan masih harus memerlukan waktu, karena persenjataan serta pendanaan masih belum memungkinkan. Sementara Haji Wasid punya rasa tanggung-jawab moral terhadap Haji Makid yang mendesak dirinya agar pemberontakan segera dilaksanakan, menyusul dengan adanya kebijakan asisten residen Gubbels yang dirasakan sudah sangat merugikan masyarakat Cilegon serta telah menyinggung perasaan keagamaan umat Islam, karena adanya larangan adzan dengan suara keras dan diberlakukannya larangan mengadakan hajatan yang diiringi oleh aktifitas keramaian, berupa arak-arakan atau pagelaran musik kendang pencak dan qasidahan.
Haji Wasid berupaya untuk meyakinkan sahabatnya itu (H. Marjuki) bahwa semakin mengulur waktu dikhawatirkan akan melemahkan gerakan perjuangan. Namun Haji Marjuki tetap pada pendiriannya, bahkan selang beberapa hari sejak pertemuan itu berlangsung, yang pada saat itu diadakan rumahnya Hajin Mohamad Singadeli, di Kaloran, Serang, akhirnya Haji Marjuki meninggalkan Banten dan kembali ke tanah suci Mekah, dengan pesan terakhirnya bahwa saatnya nanti ia akan kembali bersama kiyai Agung (Haji. Abdulkarim), Syeikh Nawawi Albantani, beserta para ulama yang ada di Mekah untuk datang bersama-sama melanjutkan dan merealisasiakan tujuan yang telah mereka sepakati. Sebagai tanda dukungan, ketika Haji Marjuki akan berangkat ke Mekah, ia menyerahkan pakaian putih-putih beserta ikat kepala putih, sebagai mana yang telah diputuskan dalam suatu musyawarah, bahwa sebagai ciri bahwa mereka adalah pejuang dengan tanda memakai ikat kepala.
Dan beberapa hari kemudian sepeninggal H. Marjuki maka meletuslah peristiwa pemberontakan itu, pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888, dengan membantai habis seluruh pejabat Hindia Belanda yang ada di Cilegon. Namun upaya untuk menduduki serta merebut Serang (ibu kota karesidenan Banten) itu tidak sempat berhasil, mungkin ini disebabkan karena sang pemimpin (koordinator) untuk wilayah serang dan sekitarnya (Tanara dan Cikande), yaitu Haji Marjuki telah pergi meninggalkan para pasukan yang berada dibawah pengawasannya. Maka sekali pun pasukan yang sudah disiagakan untuk mengepung kota Serang, akhirnya harus dibubarkan pada tanggal 14 Juli. Sebab Haji Wasyid dan Haji Tubagus Ismail pada saat itu harus meninggalkan Cilegon dan menuju ke Banten selatan, karena diburu oleh pasukan ekspedisi (gabungan dari Batavia dengan pasukan reguler di Banten).
*Ditulis Oleh Bambang Irawan, pengelola Workshop Sejarah Geger Cilegon 1888.
#Sejarah