Stop Politisasi Peristiwa Kudatuli, Cepi Kombatan : Negara Harus Jadikan "Titik Nol Reformasi" Cegah Dendam
Kamis, 1 Mei 2025

Iklan Semua Halaman

Stop Politisasi Peristiwa Kudatuli, Cepi Kombatan : Negara Harus Jadikan "Titik Nol Reformasi" Cegah Dendam

Kamis, 28 Juli 2022
Ketua DPN Kombatan, Budi Mulaywan, SH


WARTAALBANTANI— Ormas Komunitas Banteng Asli Nusantara (Kombatan) berharap negara berani hadir menuntaskan status hukum tragedi berdarah "Kudatuli", sebutan populer kerusuhan 27 Juli 1996, di Kantor DPP PDI, sebelum berganti nama PDI Perjuangan. Agar tidak berlarut-larut jadi "api dalam sekam" hingga seperempat abad.

Pasalnya, tragedi dengan ratusan korban berjatuhan itu disebut-sebut buah rekayasa rezim Presiden Soeharto dan diduga melibatkan kewenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjabat Kasdam Jaya berpangkat Brigjen. Belakangan, semakin berpotensi jadi dendam politik hingga generasi anak cucu. Ini akibat tidak adanya kepastian hukum.

"Negara harus berani memastikan apakah kasus itu dituntaskan dengan proses pengadilan, atau disikapi dengan arif sebagai perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia. Sehingga, peristiwa itu dapat dijadikan momen sejarah agar tragedi politik brutal serupa, jangan sampai terjadi lagi di era generasi mendatang," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Kombatan, Budi Mulyawan SH alias Cepi, yang juga pelaku sejarah Kudatuli dari PDI pimpinan Megawati. 

Artinya, lanjut Cepi, Negara harus berani bersikap hingga ada kepastian hukum. Sekaligus, memaknai tragedi bersejarah ini menjadi momen "Titik Nol Reformasi". Sekaligus, menghomati para korban yang nyawanya terengut sebagai pejuang demokrasi.

"Harus diakui, peristiwa Kudatuli yang mengorbankan banyak warga PDI Perjuangan ini, jadi momentum dimulainya perjuangan demokrasi secara masif di Tanah Air. Hingga berujung meletusnya reformasi '98, dan memaksa rezim otoriter Soeharto selama 32 tahun berakhir," kata Cepi, kader Megawati yang sempat jadi TO rezim Orde Baru.

"Para korban yang meninggal itu pantas disebut pahlawan demokrasi Indonesia," imbuh Cepi.

Jika dibiarkan tidak ada kepastian hukum, lanjut Cepi, setiap tahun suasana peringatan Kudatuli selalu diwarnai tuntutan pelanggaran HAM berat. Ironisnya meski peristiwa berjalan 26 tahun, namun selalu tidak berlanjut ke penanganan hukum secara tuntas. 

"Jika dibiarkan berlarut-larut, sama halnya memelihara dan menebarkan citra buruk perlindungan HAM Indonesia di mata Internasional. Masyarakat ini semakin kritis, wajar banyak yang bertanya ada apa PDI Perjuangan selama jadi partai penguasa, tetap tidak dapat menyelesaikan kasus HAM yang dialaminya," tegas Cepi menyampaikan autokritik.  

Sebagai kader PDI Perjuangan, Cepi mengaku dirinya berani melakukan autokritik demi menjaga marwah PDI Perjuangan, agar tetap menjadi partai terbesar di Tanah Air. 

"Autokritik ini beresiko, saya paham. Tapi, saya harus melakukannya, semata-mata untuk menyelamatkan nama besar partai dari ambisi-ambisi pragmatis yang tidak pernah terlibat langsung peristiwa Kudatuli," kata Cepi.

Cepi mengakui peristiwa penyerangan untuk mengambil kantor DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pada 27 Juli 1996, sudah terang benderang menyeret nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjadi Kasdam Jaya. 

"Data menyebutkan tiga hari sebelum peristiwa, SBY selaku Kasdam berpangkat Brigjen memimpin pertemuan yang dihadiri Brigjen Zacky A. Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso dan Alex Widya Siregar. Pertemuan itu memutuskan harus mengambil alih kantor DPP PDI pimpinan Bu Mega," ungkap Cepi. 

Esoknya, 25 Juli 1996, lanjut Cepi, 11 pengurus DPP hasil Kongres Medan diterima Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta. DPP PDI tandingan yang dikehendaki Soeharto dengan Ketua Umum Soerjadi itu melaporkan kegiatan mimbar bebas di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro 58, Jakarta, menolak Kongres Medan. 
Soeharto mengatakan mimbar bebas disusupi "Setan Gundul" dan harus dihentikan. Pernyataan ini jadi headline koran-koran nasional. 

"Dua hari kemudian, tanggal 27 Juli 1996, dini hari terjadi pernyerbuan Kantor DPP PDI oleh ratusan pasukan berambut cepak yang menyamar dengan seragam atribut massa PDI Kongres Medan. Karena bersama masa PDI Promeg (Pro Megawati) siaga di kantor tidak menduga kalau diserbu mendadak, akhirnya berjatuhan banyak korban," ungkap Cepi. 
Korban bentrok berdarah akibat pengambialihan kantor DPP PDI itu berbuntut kerusuhan di Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, 5 orang tewas, 23 orang hilang, 149 luka-luka, dan 124 orang ditahan rezim Orba. Kerusuhan mengakibatkan 22 bangunan terbakar, 91 kendaraan bermotor hangus. Kerugian material mencapai Rp 100 miliar. 

MEGA TIDAK BALAS DENDAM

Cepi berkeyakinan Ketum DPP PDI Perjuangan Megawati nantinya akan menyikapi kasus Kudatuli ini dengan jiwa kenegarawanan. Sekaligus, memberikan ketauladanan sebagai Ibu Politik paling senior di Indonesia.   

"Kita tahu bagaimana sikap kenegarawanan Bu Mega pasca Soeharto lengser. Beliau larang kader-kader PDI Perjuangan ikut-ikutan menghujat. Padahal, Bung Karno, ayahnya pernah diperlakukan Soeharto sangat menyakitkan," ungkap Cepi. 

Ia menyontohkan, kisah tragis Bung Karno melepas jabatan presiden. Juga, bagaimana cara Soeharto hingga jadi Presiden RI ke dua. "Ada pembiaran kondisi Bapak Proklamasi itu selama menderita sakit ginjal hingga meninggal di rumah tahanan, Wisma Yaso," imbuh Cepi, yang mempersiapkan HUT Kombatan ke-5 di Cirebon ini. 

Tidak cuma itu. Kata Cepi, faktanya Megawati juga seperti memaafkan Soeharto, meski pernah berupaya menyingkirkan dirinya dari perpolitikan nasional.   

"Sejak Bu Mega muda terjun ke partai PDI hingga lolos jadi Ketua Umum periode 1993-1998 di Kongres PDI Surabaya, Soeharto berupaya menyingkirkan," ungkapnya. 

Upaya itu indikatornya jelas, dari mulai dimunculkan DPP tandingan hasil Kongres Medan hingga upaya mengambil alih kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. 

"Bu Mega tetap bertindak arif. Termasuk, tidak setuju Soeharto diadili ketika banyak elite mendorong diadili. Jadi, kita yakin Bu Mega tidak akan balas dendam soal Kudatuli," kata Cepi, optimistis.

Gencarnya DPP PDI mendorong Komnas HAM memberikan rekomendasi pelanggaran berat HAM Kudatuli, adakah kaitannya untuk menghadang manuver-manuver politik SBY menggolkan anaknya, Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) di Pilpres 2024? 

Cepi berharap tidak ada hubungannya. Tapi, lanjutnya, kalau dipaksakan berkaitan justru menambah beban politik berkepanjangan. 

"Kombatan berharap tokoh-tokoh elite senior tidak mewariskan dendam dendam politik yang terus menumpuk. Kasihan generasi penerus. Penyelesaian konflik akan lebih sulit dan rumit. Dibutuhkan keteladanan dan kearifan generasi senior," demikian harapan Cepi. (*red)

#Sejarah
close