Cilegon, Pipa Air yang Diputus, dan Politik Kompromi yang Terus Terhubung (?)
Kamis, 10 April 2025

Iklan Semua Halaman

Cilegon, Pipa Air yang Diputus, dan Politik Kompromi yang Terus Terhubung (?)

Sabtu, 16 Maret 2024


Oleh Hanif Farhan S, Fil

Beberapa jam yang lalu, saya melihat berita di media Instagram tentang caleg gagal yang konon memutus sambungan sumber air di Kecamatan Pulomerak, kelurahan Suralaya. Menurut berita yang saya baca, caleg itu sakit hati, ngambek, sehingga sumber air yang didonasikan melalui kantong pribadinya diputus, entah itu untuk sementara dalam upaya memberi pelajaran kepada masyarakat terkait atau untuk seterusnya, saya tidak tahu pastinya bagaimana.

Pertama, secara pribadi, apa yang dilakukan caleg gagal dalam memutus sumber air yang konon telah disumbangkannya secara cuma-cuma itu tidak dapat disalahkan. Sebab apa? Sebab ia gelontorkan saluran pipa air tersebut menggunakan uang pribadi. Ini terlepas apakah ada sentimen kepada masyarakat atau tidak, dalam upaya balas dendam atau tidak. Nanti akan saya ulas di bagian tengah tulisan. Barangkali, ia berpikir bahwa jika ia terpilih sebagai wakil mereka, hal itu bisa menjadi jembatan untuk didiskusikan tetang persoalan dan keluhan masyarakat yang diwakilinya di parlemen yang,  efek baiknya mungkin tidak hanya persoalan saluran air, melinkan hal-hal lain, kebijakan dan fasilitas yang bisa memberikan kelayakan hidup bagi mereka sebagai warga. Bicara kelayakan tidak hanya air, toh? Barangkali ada hal lain--fasilitas publik yang masih tidak layak dan perlu untuk dibicarakan.

Apakah masyarakat tidak tahu diri dengan tidak memilih donatur saluran pipa sebagai dewan legislatif? Nah, saya melihat banyak cuitan netizen di kolom komentar yang menyalahkan masyarakat karena dianggap tidak tahu diri, gampangnya, sudah dibantu kok tidak memilih? Apakah anggapan ini dapat dibenarkan? Ya! Secara sosial, tentu dapat dibenarkan, tetapi jika urusan semacam itu masuk dalam ruang politik, siapapun harus tahu bahwa soal pikiran dan sikap orang tentang pilihan politiknya sama sekali tidak bisa ditawar bahkan jika dengan sesutu yang lebih berharga dari sekadar saluran pipa air. Begitupun jika caleg gagal yang memutuskan saluran air karena sakit hati atau semacam sentimen politk, ini bisa kita sebut sebagai tindakan yang tidak etis.

Apakah masyarakat tidak memilih donatur pipa sebagai wakil mereka atas dasar kedaulatan atau seperti yang diberitakan, yaitu gara-gara serangan fajar dari caleg lain?

Soal apakah masyarakat Suralaya--rakyat dalam hal ini sebagai pemegang kedaulatan demokrasi--memilih caleg lain selain caleg donatur pipa atas pengetahuan dan kesadarannya tentang pilihan politik, ini harus ada riset khusus. Anggap saja jika benar pilihan mereka terhadap caleg atas dasar kedaulatan, maka mereka tidak dapat disalahkan secara mutlak. Sebab apa? Sebagaimana Aristoteles berpendapat dalam tatanegara, bahwa posisi hukum harus di atas segalanya. Hukum dalam hal ini tentu pikiran dan kesadaran mereka tentang politik adalah hak yang harus dijunjung setinggi-tingginya, sementara merampas hak orang untuk menyatakan sikapnya adalah pelanggaran. Lantas, siapa yang sesngguhnya harus bertanggung jawab atas fenomena warga Cilegon yang masih kesulitan bahkan untuk sekadar saluran air? Bagian ini, akan saya ulas di akhir tulisan. Balik lagi, sebaliknya, jika benar pilihan mereka dikendalikan oleh politik yang dikompromikan atau serangan fajar, tentu kita harus bersedih sesedih sedihnya. Kita bisa tinjau fenomena kotor ini bahwa selain telah merepetisi dari musim ke musim, ia menjadi sesuatu yang melemahkan kedaulatan kita sebagai tuan, melemahkan politik yang semestinya. Jika politik lemah, posisi civil society sebagai pemegang kedaulatan juga akan lemah. Tentunya ia merupakan persoalan dan tanggung jawab kita bersama, pemerintah khususnya. Termasuk urusan jika memilih caleg untuk terpilih sebagai dewan  dengan alasan karena ia telah membantu saluran airpun, jika ianya adalah kompromi, itu juga tidak dapat dibenarkan.

Intinya, hak atas pilihan politik tidak bisa dikompromikan bagaimanapun. Siapa tidak boleh menego siapa seperti tawar menawar barang kodian di pasar. Pemberian amplop, misalnya, atau iming-iming transaksional juga pemberian materi ini dan itu. Idealnya memang begitu, setiap pribadi diberikan kemerdekaan untuk memilih berdasarkan pengetahuan dan kesadarannya. Catatanya, jika masyarakat tidak diberi pengetahuan dan kesadaran politik sementara di samping itu politik terus menerus dikendalikan atas perbincangan kompromi sambil melakukam transaksi di gorong-gorong, sampai kapanpun kita akan menjadi bangsa yang tertinggal. Jadi, saya pikir tidak ada urusan soal saluran pipa yang diputus dengan pilihan warga untuk memilih caleg lain. Jika keduanya terus menerus dikait-kaitkan, barang tentu ada praktik politik yang tidak beres.

Kita masuk ke bagian akhir sekarang, bagian yang sama sekali lain dengan persoalan yang saya urai di atas: siapa yang sesungguhnya harus bertanggung jawab atas fenomena warga Suralaya yang masih kesulitan walau hanya untuk mendapatkan air yang layak? Justru saya ingin bertanya, kemana pemerintah selama ini? Apakah keluhan itu tidak pernah diperdengarkan atau memang sama sekali tidak pernah menjadi keluhan lantaran ada donatur? Ah, sulit dimengerti, apatah lagi untuk membayangkan ia sampai didiskusikan di parlemen. Huft~

Beberapa menit lalu, saya melihat berita Walikota Cilegon mengunjungi daerah Suralaya, tempat atau daerah yang pipa airnya diputus itu. Rupanya beliau datang untuk memberi sikap tanggung jawab sebagai pemimpin. Di satu sisi, ianya perlu untuk dihargai sebagai sebuah upaya etik sebagai seorang pemimpin. Satu sisi yang lain, seseorang perlu bersedih akan itu. Mengapa? Karena, kok, ia sebagai kepala pemerintah datang terlambat? Mengapa ia datang ketika persoalan sudah virall di media? Apakah ini terjadi untuk yang pertama kali? Saya tidak tahu. Yang pasti, ketika salah satu daerah Cilegon dilanda banjir, saya melihat beliau diprotes beberapa netizen di Instagram karena dianggap datang terlambat--ketika banjir sudah terjadi. Dulu, pernah juga terjadi ketika masyarakat Cilgon tak mampu membayar listrik selama bertahun-tahun, ianya kemudian ditangani ketika lagi-lagi, berita viral di media.
Ini pada akhirnya bukan persoalan Waikota yang datang ketika sesuatu terjadi, melainka pertanyaan atas data yang dilayagkan beberapa lembaga survei tentang Kota Cilegon sebagai kota yang kaya, GoodStite, misalnya, merilis kota-kota terkaya di Indonesia dan di sana Cilegon menduduki urutan keempat. Tetapi, agaknya data itu ketika dihadakan pada realitas akan dipertanyakan oleh muka publik, warga awam seperti saya khsusnya. Orang-orang Gen Z barangkali akan bertanya: "Masak iya Cilegon sebagai kota elite tetapi urusan air saja masih sukit? Yang bener saja, rugi dong!". Belum lagi soal akses jalan yang sudah tidak layak namun belum ditangani, belum lagi soal Cilegon sebagai kota kaya namun masih banyak daerah pemukiman yang kumuh seperti sebuah artikel yang ditulis oleh Mirza Nurbayanie, misal. Jadi, balik lagi, siapakah yang sungguh-sungguh harus bertanggung jawab atas saluran air di Suralaya? (*/)

(*/)Hanif Farhan, S Fil
Penulis merupakan sastrawan di Cilegon


#Opini
close